Makna sukses seperti kompas hidup kita. Jika salah memahami makna sukses, maka kita akan salah arah. Jika salah memilih role model bagi kita dan anak-anak kita, siap-siap tersesat dan mengorbankan orang lain.
Nabi Muhammad SAW lebih ‘memilih miskin’, meski bukit-bukit di Makkah ditawarkan diubah menjadi emas untuknya, jika Rasulullah mau. Nabi Isa AS yang diberikan mukjizat menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang yang mati, tidak juga ‘memilih jalan kaya’. Bahkan Siddharta Gautama melengserkan dirinya sebagai putra mahkota dan hidup sangat ala kadarnya.
Kenapa umat mereka justru memilih kaya raya? Siapa penuntunnya?
“Tapi kalau kita kaya raja, kan bisa bantu banyak orang Mas J?”
Biasanya orang yang berkata begitu, akan terlena saat ia kaya raya dan akan oportunis (+ manipulatif) dalam proses menuju kaya. Karena nggak bisa membedakan mana tujuan, jalan, dan kendaraan.
Jika bermanfaat bagi banyak orang adalah tujuan kita, nggak perlu menunggu kaya. Bisa jadi jalannya dengan membantu kawan mencari lowongan kerja, memberikan informasi, mengajar ngaji, memberi solusi pernikahan, atau mengajarkan mereka berdagang. Sedekah yang kita berikan bisa jadi hanya solusi sementara yang belum tentu terbaik. Jika mereka yang disedekahi mampu berkarya, mungki ilmu dan akses pasar akan lebih bermanfaat bagi mereka.
“Tapi Mas J, bangun masjid kan gak hanya perlu nasehat, perlu duit nyata”
Jawaban singkatnya adalah: Allah Maha Kaya dan Allah lah yang mengkayakan kita, bukan semata karena ikhtiar kita.
Sejenak saya teringat perkataan Gus Baha:
Saya beri contoh, Anda sekarang kalau masih miskin, berbahagialah. Karena miskin itu mudah jadi orang dermawan. Kalau orang sudah kaya ribet.
Coba misalnya anda jadi santri saya. Tak contohkan, biasanya santri kalau sama kiainya kan loyal. Kamu miskin punya ayam 2. Saya minta satu boleh nggak? Boleh. Padahal itu 50 persen. Terus punya uang 100rb. Saya minta 50rb, kira-kira boleh nggak? Boleh. Padahal itu 50 persen.
Tapi kalau kamu kaya, punya uang 1 milyar. Saya minta 500 juta, boleh gak kira-kira? Padahal itu 50 persen. Gampang mana dermanya orang kaya dengan orang miskin untuk beramal 50 persen?
Suatu saat seorang alumni ecamp mendoakan saya “Semoga Mas J bisa jadi triliuner seperti Anu…(dia menyebut salah satu nama tokoh pengusaha),”
Saya jawab, “Gak aamiin,”. Kemudian dia bertanya, “Kenapa kok gak ngaminin?,”
Saya jawab: “Ya emang bukan itu cita-citaku. Aku lebih memilih menciptakan 100 miliarder atau 1 juta jutawan dermawan. Tentu saja dengan ridho dari Allah,”
Lantas apa bedanya?
Anggap saja rezeki itu linier dengan yang saya kerjakan, maka upaya saya untuk jadi triliuner membutuhkan 1 juta upaya X. Jika saya jadi triliuner, maka uang triliun itu akan bergantung pada 1 orang, yaitu saya. Jika saya mati, maka kebermanfaatn harta saya akan sangat bergantung pada pengganti saya setelah itu. Mungkin bisa juga cakar-cakaran, seperti kebanyakan pewaris konglomerat.
Beda kasus jika setelah saya mencapai 1 miliar, kemudian saya gunakan sisa energi saya untuk membantu orang lain membangun usahanya secara gratis, maka tumpuan ekonomi tak bergantung pada 1 sosok. Lagian gaya hidup saya juga ala kadar. Yang penting nyaman, gak harus mahal dan bermerk mewah. Toh jika saya lalai saat kaya dan foya-foya akan lebih kecil resikonya mubadzir dibanding saya jadi Crazy Rich.
“Maksudnya kita nggak boleh jadi triliuner..??”
Saya tidak bilang begitu loh. Hanya saja saya gak berupaya menjadi triliuner dan itu bukan tujuan saya. Bisnis pun tak lantas dilambatkan atau dihentikan saat mencapai 1 miliar atau lebih. Bahkan angka 1 miliar itu hanya ilustrasi saja, bukan patokan. Kenyataannya ya gak ngejar itu.
Yang paling penting: bisnis untung, gak rugi dan gak merugikan orang lain, yang penting juga harus bermanfaat bagi orang lain. Jika Allah memberikan kemudahan untuk bertumbuh melebihi keinginan saya, semoga saya dapat mengemban amanah penyalurannya.
“Terus jadi triliuner mau gak mas J?,”
Biasa saja, gak pengen juga, gak nolak juga. Jika menurut Allah saya gak pantas mengemban amanah itu, ya mending gak usaha kaya, daripada jadi mudarat. Paham nggak sih?
“Tapi mas J, kalau bisnis kita bertumbuh besar, kita bisa membuka lowongan pekerjaan untuk banyak orang,”
Ya sekilah kalimat itu terbaca benar. Namun belum tentu jika tahu kenyataan di lapangan. Apa yang terjadi? Karyawan hidup pas-pasan, bosnya foya-foya. Supplier ditekan dan dibayar lama. Kompetitor digilas mati. Promosi cenderung menciptakan dampak konsumerisme berlebih. Gak peduli dampak lingkungan akibat bisnisnya dan yang penting omset besar.
Jadi sibuk ngurusin bisnis, ibadah makin berkurang, ngaji ogah-ogahan. Jika tujuannya adalah mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, maka jalan yang kita tempuk gak boleh yang berlawanan dengan tujuan tersebut. Alias menjaga keberkahan di setiap prosesnya.
Misalnya kita dihadapkan oleh suatu pilihan dalam menjalankan bisnis.
A. Membeli Mesin: agar produksi lebih banyak dan profit lebih besar
B. Menggunakan Tenaga Manusia: dengan resiko banyak drama, lebih lambat, profit lebih kecil.
Mana yang akan kita pilih?
Ya tergantung tujuan utama yang tersembunyi di hati kecil kita dan keterdesakan situasi kita. Bisa jadi memilih jalan A, itu gak salah. Karena untuk menjaga standarisasi kualitas, agar gak mengecewakan pelanggan. Setiap keputusan tentu ada konsekuensinya.
Jika memang tujuan kita menjadi jembatan rejeki bagi orang lain, maka drma karyawan adalah proses yang harus kita jalanin sebagai bagian dari ladang amal dan ibadah kepada Allah. Andai dikarenakan menjadi jembatan, kemudian Allah memberika kelimpahan kepada kita, itu adalah bonus, bukan tujuan utama.
Asalkan makna sukses kita gak berlomba dengan orang lain termasuk kompetitor. Maka kita akan jadikan bisnis kita sebagai bahtera penyelamat banyak orang. Bisa jadi kompetitor adalah kawan kita untuk mengedukasi pasar. Sehingga market sizenya naik. Dan bisa jadi kompetitor juga membantu kita mengentaskan kemiskinan. Tentu jangan dicerna buta dengan menerima sembarang orang dalam organisasi kita. Ibarat Nabi Nuh pun memilih bibit-bibit yang pantas diprioritaskan dalam bahteranya.
“Kilauan materi sering membuat kita makin ambisius dan membahayakan orang-orang di sekitar kita. Setelah satu persatu impian kita terpenuhi, tak hadir juga rasa syukur itu. Yang ada semakin ‘rakus’ ingin mendapatkan lebih dan lebih lagi.”
Selain nafsu pemenuhan pribadi, juga nafsu untuk ‘dinilai orang lain’. Hingga di suatu titik, kita tersadar, bahwa semua itu adalah kebahagiaan yang semu. Semoga tersadarkan, sebelum terlambat,”
Kebangkrutan seringkali adalah kejadian yang ‘bagus’, karena berusaha mereset ‘penghambaan’ kita terhadap penilaian manusia. Awalnya mungkin protes kepada Allah, namun jika direnungkan secara mendalam, kebangkrutan adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita.
Mungkin kita belum sepenuhnya kembali ke jalan yang benar, yang penting kita terus berjalan ke ‘arah yang benar’. Apakah harus jadi pengusaha? Lha emang hanya pengusaha yang mulia? Apakah profesi dokter, guru, dai, insinyur, bahkan buruh gak mulia? Kembali ke tujuannya itu apa
Emang tiket ke surga hanya buat pengusaha?
Bahkan hisabnya pengusaha paling lama. Karena setiap harta dipertanggung jawabkan perolehannya dan peruntukannnya. Jadi dokter yang gak komersial, memberi gratis kepada dhuafa juga profesi mulia.
Jadi guru, untuk menyiapkan generasi yang berakhlak, profesi mulia. Jadi buruh yang amanah, menjadi bagian dari pembangunan yang berkualitas, profesi yang mulia juga. Profesi hanyalah kendaraan yang kita pilih, boleh juga berpindah profesi, asalkan tujuannya sama: mati masuk surga atau husnus khotimah. Jalannya melalui ibadah, ngaji, memberi manfaat untuk sesama. Terus harta itu apa posisinya?
Harta itu seperti bahan bakar. Kalau dibuat foya-foya akan membakar diri kita. Kalau dibagi-bagikan dan dimanfaatkan buat kebaikan, akan jadi bahan bakar menuju surga.
Katanya nih harta itu titipan. Jadi bukan punya kita kan? Lantas kenapa dikekepin (disimpan erat) terus? Kalaupun nggak ada harta, masih ada tenaga, pikiran, perkataan, bahkan senyuman untuk bersedekah.
Begini ringkasnya:
Tujuan: mati masuk surga
Jalan: ibadah dan menebar manfaat
Kendaraan: pilih profesi atau peran
“sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain,” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani ad-Daruqutni)
Apakah kita mengimani hadits tersebut atau hanya sekedar menjadi slogan nasehat bagi orang lain, bukan bagi kita sendiri?
– Salam
Jaya Setiabudi