- Endorse terlalu dini, padahal produk belum valid
Fenomena ini sering kita jumpai dulu di kue-kue para artis. Mereka memanfaatkan ketenarannya (personal power) untuk menarik trafik.
Banyak yang kena zonk karena saat membeli ternyata rasanya biasa saja. Mereka beli hanya karena ingin ikut trend atau hype nya saja. Jadi apakah mereka akan beli lagi..? Balik lagi ke produknya.
Untuk awal-awal mungkin iya terlihat banyak konversinya karena hype tadi. Sampai harus beli alat produksi baru karena permintaan sedang banyak-banyaknya. Tapi lama kelamaan 1 orang ketipu, 100 orang ketipu, 1000 orang ketipu, sampai trafik turun dan akhirnya omset turun hingga tidak bisa menjual lagi. Ini yang dinamakan omset semu.
Hal ini bisa membahayakan bisnis kedepannya karena orang yang sudah terlanjur kecewa biasanya tidak akan membeli lagi, walaupun kita sudah benahi rasanya. Effort untuk membuat mereka kembali membeli tentu akan membuat kita mengeluarkan budget yang cukup besar.
Padahal, kalau endorse saat produk sudah ngangenin bisa berefek sangat baik. Kita cuma perlu campaign sekali 2 kali misalnya, dan mereka akan kembali lagi (repeat order) karena memang kangen sama produknya.
- Kemasan yang ‘menipu’
Kalo sudah ngangenin sih gak masalah. Tapi kalau belum ngangenin dan orang ingin beli karena melihat kemasannya cakep, lalu ekspektasi dia saat mencoba tidak tercapai, maka pembeli akan kecewa dan tidak mau membeli lagi.
Banyak yang datang ke saya bawa produknya sudah dikemas cakep tapi pas dicoba rasanya gak ngangenin blas.
“Tapi konversinya tinggi mas J.”
Sebentar, kamu jual dimana..?
“Di toko oleh-oleh mas.”
Oh pantes, mereka beli ya karena melihat kemasannya. Bukan produknya. Apakah mereka akan beli lagi..? Belum tentu, balik lagi ke produknya.
“Tapi repeat order terus mas.”
Siapanya..? Toko oleh-olehnya..? Iya mereka repeat order, tapi apakah end user repeat order lagi..?
Orang yang beli di toko oleh-oleh biasanya datang ke tempat wisata dan mereka asalnya dari luar kota, sehingga belum tentu datang ke sana lagi dalam waktu dekat. Sehingga trafik yang ada di toko oleh-oleh tiap harinya merupakan korban baru.
Apakah setelah mereka pulang dan mencoba produk tsb lalu akan langsung mencari / memesan via internet..? Balik lagi ke produknya. Nah ini yang menjadikannya tidak bisa diukur angka repeat ordernya karena tidak tahu pendapat end user.
- Buru-buru open reseller
Nah dari sini juga banyak yang terjebak omset semu. Pada denial kalau produk mereka gak ngangenin karena yang dilihatnya omset naik terus. Sebulan 2 bulan mungkin masih naik, tapi setelah 6 bulan kok omset turun terus ya, malah reseller satu persatu pada gak pesen lagi. Dimana salahnya..?
Misal begini, 1 reseller punya 1000 daftar nama. Dia pesan ke anda 200 pcs untuk ditawarkan pada 200 orang pertama dari daftarnya, lalu laku sekian. Besoknya lagi dia pesan untuk 200 orang berikutnya. Begitu terus sampai tidak ada lagi orang yang bisa ia tawarkan.
Karena produk tidak ngangenin, akhrinya 1000 list tadi tidak ada yang pesan lagi ke reseller tsb alias cuma beli sekali saat pertama kali ditawarkan. Sehingga sang reseller pun cari produk baru dan berhenti membeli produk anda.
Jadi angka repeat order dari reseller juga perlu dipertanyakan, apakah ia membeli lagi untuk end user yang kemarin atau bukan. Karena kebanyakan reseller mungkin terpancing menjadi anggota anda karena branding activity nya anda bagus. Sehingga hanya sekedar hype saja.
Perlu diingat, omset besar tidak menjadikan penentu bisnis anda sustain. Bisa jadi omset yang kecil tapi hasil repeat order yang asli, itulah yang membuat bisnis bertahan.